Perjanjian Sumber Perikatan
Disusun Oleh :
Alvinur Rahmi
1203101010273
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2014
BAB
II
Pembahasan
A.
Perjanjian
1.
Pengertian
Perjanjian
a.
Menurut Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berdasarkan
Pasal 1313 KUH Perdata ,” suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[1]
b.
Menurut Abdul
Kadir dan Subekti
1.
Menurut
Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau
lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan.[2]
2.
Menurut R. Subekti Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[3]
c.
Menurut Kamus
Hukum Black Law Dictionary
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “ persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
maasing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan
itu.”
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat
untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama”.
2.
Unsur-Unsur
Perjanjian
Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur
perjanjian, antara lain :
1.
Ada pihak-pihak
(subjek), sedikitnya dua pihak
2.
Ada persetujuan
antara pihak-pihak yang bersifat tetap
3.
Ada tujuan yang
akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
4.
Ada prestasi
yang akan dilaksanakan
5.
Ada bentuk
tertentu, lisan atau tulisa
6.
Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
1)
Pihak – pihak (
Subjek )
Pihak (subjek) dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat
dengan diadakannya suatu perjanjian.
Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus ampu atau
berwenang melakukan perbuatan hukum.
KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian,
yaitu:
1.
Para pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri
2.
para ahli waris
mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya:
3.
pihak ketiga
2)
Sifat
Perjanjian
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan
(kesepakatan) antara para pihak. Sifat persetujuan dalam suatu perjanjian di
sini harus tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukkan dengan
penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, Apa yang ditawarkan oleh pihak yang
satu diterima oleh pihak yang lainnya.
3)
Tujuan
Perjajian
Tujuan diadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para
pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian denga
pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang- Undang
4)
Prestasi
Dengan adanya persetujua, maka timbullah kewajiban untuk
melaksanakan suatu prestasi [consideran menurut hukum Anglo Saxon].
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian.
5)
Bentuk
Perjanjian
Bentuk perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.
Bentuk tertentu biasanya berupa akta. Perjanjian itudapat dibuat lisan, artinya
dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh para phak [itu sudah cukup],
kecuali jika para pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta)
6)
Syarat
Perjanjian
Syarat-syarat tertentu dari perjanjian ini sebenarnya sebagai isi
perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban
para pihak. Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan
menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya, mengenai barangnya, harganya,
dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya,
cara penyerahannya, dan sebagainya.[4]
B.
Asas-Asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal 3 asas, yaitu asas
konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak
1.
Asas
Konsensualisme
Asas konsensualisme artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi sejak
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, dengan kata lain bahwa
perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata
sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan
Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya
bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan para pihak.
2.
Asas Pacta Sunt
Servada
Asas pacta sunt servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian.
Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan :
Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
persetujian-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan tersebur terkandung beberapa istilah. pertama,
istilah ‘semua perjanjian’ berarti bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan
bahwa perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga
perjanjian yang tidak bernama. Selain itu, juga mengandung suatu asas partj
autonomie. Kedua, istilah ‘secara sah’,
artinya bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perbuatan
perjanjian harus memenuhi persyaratan
yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-undang
terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum. Ketiga,
istilah ‘itikat baik’ hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor
dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang. Ini merupakan
realisasi dari asas keeimbangan.
3.
Asas Kebebasan
Berkontrak
Kebebasan berkontrak (Freedom of making contract), adalah
salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini
adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu
asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk : (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan
perjanjian dengan siapapun, (3) Menentuan isi perjanjian, pelaksaan, dan
persyaratannya: dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis dan
lisan. Namun demikian, Abdulkdair Muhammad, berpendapat bahwa kebebasan
berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal, yaitu : (1) tidak dilarang oleh undang-undang
: (2) tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan (3) tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.[5]
Selain asas-asas perjanjian yang telah di sebutkan di atas, dalam
suatu perjanjian dikenal juga asas-asas sebagai berikut, yaitu : asas terbuka,
bersifat pelengkap, dan obligator.
1.
Asas terbuka (open system) yaitu,
setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak
diatur dalam undang-undang. Asas terbuka merupakan nama lain dari asas
kebebasan berkontrak.
2.
Bersifat pelengkap (optimal), artinya
pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat
perjanjian menghendaki dan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan pasal-pasal
undang-undang.
3.
Bersifat
Obligator (obligatory), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu
baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak
milik (ownership).[6]
C.
Syarat Sah Perjanjian
Di dalam hukum Kontrak (Law of Contract) Amerika ditentukan
4 syarat sahnya perjanjiah, yaitu : (1) adanya offer (penawaran) dan
acceptance (penerimaan), (2) Metting of minds (persesuaian
kehendak), (3) konsiderasi (prestasi), dan (4) competent legal parties (kewenangan
hukum para pihak) dan legal subject matter (pokok persoalan yang sah),
sedangkan di dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur di
dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 Buku IV NBW (BW baru) belanda.
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat
syarat sahnya perjanjian, seperti berikut ini.
a.
Adanya
Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang menjadi
pertanyaan adalah “ kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak
tersebut “?
Ada 4 teori yang menjawab
momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, sebagai berikut.
1.
Teori ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat
pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
2.
Teori
Pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Teori ini juga sangat teoritis,
dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
3.
Teori
pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila
pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (peneriman),
tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
Kritik terhadap teori in, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia
belum menerimanya.
4.
Teori
penerimaan (onivangstheorie)
Menurut teori ipenerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak
yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Momentum terjadi perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian
antara kehendak, teori pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor.
Namun ada kalanya tidak ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak.
Ada 3 teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak
dan penyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan (
Van Dunne, 1987: 108-109 ). Ketiga teori itu , yaitu :
1.
Teori kehendak
(wilstheorie)
Menurut
teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara
kehendak dan pernyataan.
2.
Teori
pernyataan (verklaringstheorie)
Menurut
teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain.
Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan.
3.
Teori
kepercayaan (verirouwenstheorie)
Menurut
teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan
yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.
b.
Kecakapan
bertindak
kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untukmelakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum.
c.
Adanya objek
perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi
kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor (Yahya Harahap, 1986:10;
Mertokusumo, 1987: 36). Prestasi ini terdiri atas : (1) memberikan sesuatu, (2)
berbuat sesuatu, dan (3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
d.
Adanya causa
yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang
terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak
sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.[7]
D.
Jenis-Jenis
Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, jenis perjanjian, yaitu :
1.
Perjanjian
Timbal Balik dan Perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain :
a.
Perjanjian jual
beli (koop en veerkoop), yaitu suatu persetujuan antara dua pihak,
dimana pihak kesatu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak kedua akan
membayar harga yang telah disetujui.
b.
Perjanjian
tukar menukar (Ruil, KUH Perdata Pasal 1541 dan seterusnya), yaitu suatu
perjanjian antara dua pihak, di mana pihak satu akan menyerahkan suatu barang
begitu pun dengan pihak lainnya.
c.
Perjanjian sewa
menyewa (Hour en verbuur, KHU Perdata Pasal 1548 dan seterusnya), yaitu
suatu perjanjian dimana pihak I (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu
tertentu kepada pihak II ( si penyewa ) untuk menggunakan barangnya dengan
kewajiban pihak II membayar sejumlah uang sejumlah uang sewanya.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan yang
memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang
satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak
lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
2.
Perjanjian
Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntangan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, pada perjanjian ini hanya
memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai,
perjanjian hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terdapat prestasi
dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat
berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu suatu syarat potestatif
(imbalan)
3.
Perjanjian
Bernama (Benoemd) dan tidak bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu
perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut
diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang
pling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya, Jual beli, sewa menyewa dan
lainnya.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai
nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan
kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaannya, dan lainnya.
4.
Perjanjian
Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst), adalah perjanjian
untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan
ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Artiya, sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan
barang.
5.
Perjanjian
Konsensual dan Perjanjian Rill
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua
belah pihak telah mencapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal
1338 KUH Perdata)
Perjanjian Riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak
juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.
6.
Perjanjian
Publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya
dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah
pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan
atasan dan bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam kedudukan
yang sama (co-ordinated), misalnya, perjanjian ikatan dinas.
7.
Perjanjian
Campuran
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur
perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi
juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.[8]
E.
Akibat Hukum
Perjanjian yang Sah
1.
Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[9]
2.
Perjanjian
tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
3.
Pelaksanaan
Perjanjian dengan itikad baik[10]
Yang dimaksud dengan itikad baik dalam pasal 1338 KUH Perdata adalah
ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan
perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah
pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar.[11]
F.
Bagian-Bagian
dalam Perjanjian
Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian
essentialia, bagian naturalia, dan bagian accidentalia.
1.
Essentialia
Bagian eesentialia merupakan bagian dari suatu perjanjian yang
harus ada, sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut
bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak[12]. Contoh
: Kata sepakat diantara para pihak dan suatu hal tertentu, sehingga tanpa
keduanya tidak akan terdapat suau perjanjian. Contoh lain adalah barang dan
harga barang yang harus ada pada perjanjian jual beli. Apabila isi dari
perjanjian tersebut hanya meliputi barang dan tidak terdapat harga, maka
perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai jual beli, melainkan memenuhi
unsur tukar menukar.
2.
Naturalia
Bagian naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut
sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[13]
Bagian naturalia dapat kita temukan di dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bersifat mengatur. Sehingga apabila para pihak tidak
mengatur, maka ketentuan peraturan perundang-undanganlah yang akan berlaku.
Nmun karena sifatnya tidak memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi
ketentuan tersebut.
Contoh bagian naturalia dapat di temukan di dalam Pasal 1476 KUH
Perdata yang menentukan bahwa : Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual,
sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jka tidak telah
diperjanjikan sebaliknya.
3.
Accidentalia
Menurut Herlien Budiono, bagian accidentalia adalah bagian dari
perjanjian yang merupakan ketentuan yang diperjanjiakan secara khusus oleh para
pihak. [14]Contoh
bagian accidentalia adalah mengenai jangka waktu pembataran, pilihan domisili,
pilihan hukum dan cara penyerahan barang.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
1.
Kamus Hukum
menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang dibuat oleh dua pihak
atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi
persetujuan yang telah dibuat bersama”.
2.
KUH Perdata
membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
a.
Para pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri
b.
para ahli waris
mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya:
c.
pihak ketiga
3.
Akibat Hukum
Perjanjian yang Sah
a.
Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.
Perjanjian
tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
c.
Pelaksanaan
Perjanjian dengan itikad baik
DAFTAR
PUSTAKA
Budiono, Herlien,2010,” Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan”, Bandung : Citra Aditya.
Mertokusumo, Sudikno,2002, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis
(BW)”, Yogyakarta : Sinar Grafika.
Muhammad,
Abdulkadir (2011), “Hukum Perdata Indonesia” ,Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Tutik, Triwulan Titik,2011,” Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional”, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
R. Subekti,(1987), “ Hukum Perjanjian”, Jakarta
: intermasa
Subekti,Tjitrosudiblo,2001”Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, “Jakarta : Pradnya Paramita.
http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/
http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/sahnya-perjanjian/
http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/09/hukum-perjanjian/
[1] R. Subekti, R.
Tjitrosudiblo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya
Paramita, 2001), hal.338
[2]
http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/
[4] Titik Triwulan
Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2011), hal.222
[5] Ibid.., hal. 227
[6] Abdulkadir
Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011),
hal.295
[7] Sudikno
Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Yogyakarta : Sinar
Grafika, 2002), hal.161
[8] Opcit ..,
hal.230
[9]
http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/09/hukum-perjanjian/
[10]
http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/sahnya-perjanjian/
[11] Opcit..,
hal.306
[12] Herlien
Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya, 2010 ), hal. 67
[13] Ibid.., hal 70
[14] Ibid.., hal 71