Friday, January 2, 2015

Makalah Perjanijian Sumber Perikatan



Perjanjian Sumber Perikatan

Disusun Oleh :

Alvinur Rahmi
1203101010273




 








FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2014


BAB II
Pembahasan
A.      Perjanjian
1.     Pengertian Perjanjian
a.      Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata ,” suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[1]
b.     Menurut Abdul Kadir dan  Subekti
1.     Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.[2]
2.     Menurut R. Subekti Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[3]
c.      Menurut Kamus Hukum Black Law Dictionary
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “ persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, maasing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama”.
2.   Unsur-Unsur Perjanjian
Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur perjanjian, antara lain :
1.   Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak
2.   Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
3.   Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
4.   Ada prestasi yang akan dilaksanakan
5.   Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisa
6.   Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
1)       Pihak – pihak ( Subjek )
Pihak (subjek) dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya  suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat  menjadi subjek adalah harus ampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum.
KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
1.     Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2.     para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya:
3.     pihak ketiga
2)       Sifat Perjanjian
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan (kesepakatan) antara para pihak. Sifat persetujuan dalam suatu perjanjian di sini harus tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.
3)       Tujuan Perjajian
Tujuan diadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian denga pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang- Undang
4)       Prestasi
Dengan adanya persetujua, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi [consideran menurut hukum Anglo Saxon]. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5)       Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta. Perjanjian itudapat dibuat lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang  dipahami oleh para phak [itu sudah cukup], kecuali jika para pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta)
6)       Syarat Perjanjian
Syarat-syarat tertentu dari perjanjian ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya, mengenai barangnya, harganya, dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan sebagainya.[4]
B.      Asas-Asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal 3 asas, yaitu asas konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak
1.       Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan
Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak.


2.       Asas Pacta Sunt Servada
Asas pacta sunt servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat  kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
persetujian-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan tersebur terkandung beberapa istilah. pertama, istilah ‘semua perjanjian’ berarti bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Selain itu, juga mengandung suatu asas partj autonomie. Kedua, istilah ‘secara sah’,  artinya bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perbuatan perjanjian harus memenuhi persyaratan  yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum. Ketiga, istilah ‘itikat baik’ hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas keeimbangan.
3.       Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak (Freedom of making contract), adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.
Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan  kebebasan kepada para pihak untuk : (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun, (3) Menentuan isi perjanjian, pelaksaan, dan persyaratannya: dan (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis dan lisan. Namun demikian, Abdulkdair Muhammad, berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal,  yaitu : (1) tidak dilarang oleh undang-undang : (2) tidak bertentangan dengan kesusilaan; dan (3) tidak bertentangan dengan ketertiban umum.[5]

Selain asas-asas perjanjian yang telah di sebutkan di atas, dalam suatu perjanjian dikenal juga asas-asas sebagai berikut, yaitu : asas terbuka, bersifat pelengkap, dan obligator.
1.      Asas terbuka (open system) yaitu, setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas terbuka merupakan nama lain dari asas kebebasan berkontrak.
2.      Bersifat pelengkap (optimal), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian  menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan pasal-pasal undang-undang.
3.     Bersifat Obligator (obligatory), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership).[6]

C.      Syarat Sah Perjanjian
Di dalam hukum Kontrak (Law of Contract) Amerika ditentukan 4 syarat sahnya perjanjiah, yaitu : (1) adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan), (2) Metting of minds (persesuaian kehendak), (3) konsiderasi (prestasi), dan (4) competent legal parties (kewenangan hukum para pihak) dan legal subject matter (pokok persoalan yang sah), sedangkan di dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur di dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 Buku IV NBW (BW baru) belanda. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan  empat syarat sahnya perjanjian, seperti berikut ini.


a.      Adanya Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah “ kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak tersebut “?
Ada  4 teori yang menjawab momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, sebagai berikut.
1.     Teori ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2.     Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
3.     Teori pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (peneriman), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori in, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4.     Teori penerimaan (onivangstheorie)
Menurut teori ipenerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Momentum terjadi perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara kehendak, teori pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor. Namun ada kalanya tidak ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak.
Ada 3 teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan penyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan ( Van Dunne, 1987: 108-109 ). Ketiga teori itu , yaitu :
1.     Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
2.     Teori pernyataan (verklaringstheorie)
Menurut teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan.
3.     Teori kepercayaan (verirouwenstheorie)
Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.
b.     Kecakapan bertindak
kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untukmelakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.
c.      Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor (Yahya Harahap, 1986:10; Mertokusumo, 1987: 36). Prestasi ini terdiri atas : (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, dan (3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).
d.     Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.[7]


D.      Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, jenis perjanjian, yaitu :
1.       Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok  bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain :
a.      Perjanjian jual beli (koop en veerkoop), yaitu suatu persetujuan antara dua pihak, dimana pihak kesatu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak kedua akan membayar harga yang telah disetujui.
b.     Perjanjian tukar menukar (Ruil, KUH Perdata Pasal 1541 dan seterusnya), yaitu suatu perjanjian antara dua pihak, di mana pihak satu akan menyerahkan suatu barang begitu pun dengan pihak lainnya.
c.      Perjanjian sewa menyewa (Hour en verbuur, KHU Perdata Pasal 1548 dan seterusnya), yaitu suatu perjanjian dimana pihak I (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak II ( si penyewa ) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak II membayar sejumlah uang sejumlah uang sewanya.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
2.     Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban
Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntangan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, pada perjanjian ini hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu suatu syarat potestatif (imbalan)
3.     Perjanjian Bernama (Benoemd) dan tidak bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang pling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya, Jual beli, sewa menyewa dan lainnya.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaannya, dan lainnya.
4.     Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst), adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artiya, sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang.
5.     Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Rill
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah mencapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata)
Perjanjian Riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.
6.     Perjanjian Publik
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dan bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (co-ordinated), misalnya, perjanjian ikatan dinas.
7.     Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.[8]

E.          Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
1.     Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[9]
2.     Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
3.     Pelaksanaan Perjanjian dengan itikad baik[10]
Yang dimaksud dengan itikad baik dalam pasal 1338 KUH Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar.[11]

F.           Bagian-Bagian dalam Perjanjian
Suatu perjanjian terdiri dari beberapa bagian, yaitu bagian essentialia, bagian naturalia, dan bagian accidentalia.
1.     Essentialia
Bagian eesentialia merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada, sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak[12]. Contoh : Kata sepakat diantara para pihak dan suatu hal tertentu, sehingga tanpa keduanya tidak akan terdapat suau perjanjian. Contoh lain adalah barang dan harga barang yang harus ada pada perjanjian jual beli. Apabila isi dari perjanjian tersebut hanya meliputi barang dan tidak terdapat harga, maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai jual beli, melainkan memenuhi unsur tukar menukar.
2.           Naturalia
Bagian naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.[13] Bagian naturalia dapat kita temukan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur. Sehingga apabila para pihak tidak mengatur, maka ketentuan peraturan perundang-undanganlah yang akan berlaku. Nmun karena sifatnya tidak memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi ketentuan tersebut.
Contoh bagian naturalia dapat di temukan di dalam Pasal 1476 KUH Perdata yang menentukan bahwa : Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jka tidak telah diperjanjikan sebaliknya.
3.     Accidentalia
Menurut Herlien Budiono, bagian accidentalia adalah bagian dari perjanjian yang merupakan ketentuan yang diperjanjiakan secara khusus oleh para pihak. [14]Contoh bagian accidentalia adalah mengenai jangka waktu pembataran, pilihan domisili, pilihan hukum dan cara penyerahan barang.









BAB III
Penutup
A.      Kesimpulan
1.     Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama”.
2.     KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
a.      Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
b.     para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya:
c.      pihak ketiga
3.     Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
a.      Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.     Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
c.      Pelaksanaan Perjanjian dengan itikad baik














DAFTAR PUSTAKA

Budiono, Herlien,2010,” Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan”, Bandung : Citra Aditya.
Mertokusumo, Sudikno,2002, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, Yogyakarta : Sinar Grafika.
Muhammad, Abdulkadir (2011), “Hukum Perdata Indonesia” ,Bandung: Citra Aditya Bakti.
Tutik, Triwulan Titik,2011,” Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional”, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
R. Subekti,(1987), “ Hukum Perjanjian, Jakarta : intermasa
Subekti,Tjitrosudiblo,2001”Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Jakarta : Pradnya Paramita.
http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/
http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/sahnya-perjanjian/
http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/09/hukum-perjanjian/










[1] R. Subekti, R. Tjitrosudiblo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal.338

[2] http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/

[3] R. Subekti, Hukum Perjanjian,( Jakarta : intermasa, 1987),  hal, 1
[4] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), hal.222

[5]  Ibid.., hal. 227
[6] Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hal.295
[7] Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Yogyakarta : Sinar Grafika, 2002), hal.161
[8] Opcit .., hal.230

[9] http://yanhasiholan.wordpress.com/2012/05/09/hukum-perjanjian/

[10] http://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/sahnya-perjanjian/

[11] Opcit.., hal.306

[12] Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya, 2010 ), hal. 67
[13] Ibid.., hal 70
[14] Ibid.., hal 71