ANALISIS
TRADEGI PEMBANTAIAN ROHINGYA SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM
Disusun
Oleh :
Alvinur
Rahmi
1203101010273
![]() |
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala
puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
Rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan penyusunan Makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang senantiasa
membawa kita kepada jalan keridhaan dan maghfirah Allah SWT.
Tentunya dalam
penyusunan ini, tak luput adanya kekurangan dan kelemahan dari segala sisinya.
Oleh karena itu, dengan hati terbuka, kami menerima saran dan kritik dari
pembaca sekalian, yang tentunya bisa menyempurnakan penyusunan Makalah ini.
Rasa terima kasih
yang terdalam kami hanturkan kepada semua pihak yang telah ikut serta membantuu
penyusunan Makalah ini. Terlebih ucapan terima kasih itu kami sampaikan kepada
dosen pembimbing.
Akhirnya, dapatlah
kami menadahkan tangan kehadirat Allah SWT. seraya berdoa dan bermunajat,
semoga Makalah ini dapat bermanfaat, khususnya pada bidang pelajaran “ Hukum
Internasional “.
Banda Aceh, Desember 2013
Penyusun,
Alvinur Rahmi
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Dalam dunia internasional yang mengalami perkembangan baik dari
segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional. Hal
inipun juga terjadi dalam bidang pengungsi internasional
Pengungsi merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban
umat manusia sebagai akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan
mereka. Ancaman itu dapat ditimbulkan oleh bencana alam atau tidak adanya lagi
rasa keamanan diwilayah mereka. Perpindahan penduduk dengan skala yang besar
ini pada awalnya hanya merupakan persoalan domestik suatu negara, sehingga
kurang banyak menarik perhatian negara lain. Kemudian masalah pengungsi mulai
meluas menjadi persoalan negara-negara di kawasan tertentu saja dan terakhir
masalah pengungsi dianggap merupakan masalah bersama umat manusia.[1]
Persoalan pengungsi telah ada sejak lebih kurang abad xx. Persoalan
tersebut pertama kali timbul ketika terjadi perang rusia (ketika revolusi
rusia), yaitu ketika para pengungsi dari rusia berbondong-bondong menuju ke
Eropa Barat. Dimana mereka harus terpaksa memutuskan hubungan dengan negara
asalnya karena rasa takut yang mendasar dan mengalami penindasan (persecution).
Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang
seharusnya memberi perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan
yang dihadapi pengungsi, persiapan-persiapan khusus harus dibuat oleh
masyarakat internasional (UNHCR, 1998 ; 1).
Pada umumnya, pengungsi dilakukan karena terjadinya penindasan hak
asasi pengungsi dinegara mereka. Dimana mereka juga mencari tanah atau negara
lain sebagai tempat kediaman yang baru dan tentunya jauh dari penindasan hak
asasi manusia.
Saat ini, keberadaan pengungsi masih menjadi alasan bagi keberadaan
UNHCR, dimana sekitar 26 juta orang di dunia menjadi perhatian. Mereka mencakup
lebih dari 13.2 juta pengungsi, sedikitnya 4,7 juta orang yang terusir secara
internal, 8.1 juta lainnya merupakan korban perang dari returnee.
Hal yang perlu diperhatikan dalam konteks pengungsi adalah sifat
peristiwa yang dianggap sebagai bahaya yang menimbulkan kecemasan atau rasa
takut karena dianggap mengancam keamanan atau keselamatan orang-orang yang
menyingkirkan diri darinya. Dalam hal ini dibedakan antara peristiwa, bahaya
atau bencana yang merupakan peristiwa alami (natural disaster) seperti
gunung meletus, gempa banjir, atau kekeringan dan yang merupakan perbuatan
manusia (human made disaster) seperti konflik bersenjata, baik
internasional maupun internal, penindasan atau gangguan terus menerus yang
dilakukan oleh penguasa atau suatu kelompok orang tertentu di negara yang
bersangkutan. Misalnya karena ras, warna kulit, asal etnis, agama, golongan
sosial atau opini politik orang-orang yang menjadi sasaran penindasan atau
gangguan terus-menerus.[2]
Seperti
halnya pengungsi etnis Rohangya, dimana mereka dibantai dan di diskriminasi
karena terjadinya konflik antar etnis lainnya di myanmar. Bahkan mereka tidak
mendapatkan hak kewarganegaraan oleh pemerintahan myanmar, karena dianggap
sebagai pendatang haram di wilayah tersebut.
BAB II
Landasan Teoritis
A.
Tradegi
Pembantain Etnis Muslim Rohingya
Pada masa sekarang ini, masyarakat dunia dibuat terkejut dengan
terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap sebuah etnis untuk dimusnahkan
dari sebuah bangsa. Dimana Etnis yang paling menderita di dunia saat ini adalah
Etnis Muslim Rohingya. Dimana terjadinya pembakaran perkampungan dan pengusiran
yang terjadi di provinsi Rokhine, Burma. Yang merupakan aksi yang tidak bisa
dibiarkan oleh dunia internasional.
Selama ini secara turun temurun telah terjadi perseteruan antara
kelompok etnis Rohingya, yang muslim dan etnis lokal yang beragama budha.
Dimana Etnis Rohingya tidak mendapat
pengakuan dari pemerintah setempat. Ditambah lagi dengan agama yang
berbeda. Beberapa laporan yang menyebutkan hingga saat ini sudah terjadi
tradegi pembantaian lebih dari 6000 warga Etnis Ronghiya yang mayoritas
beragama islam.[3]
B.
Pelarian Muslim
Rohingya ke Indonesia
Perpecahan perang antar etnis yang terjadi di wilayah Rakhein,
Myanmar. Dimana warga yang berasal dari suku Rohingya yang merupakan suku
minoritas dan juga beragama islam yang dikenal sebagai agama minoritas di
myanmar. Selain itu, perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnis Rohingya
dari pemerintahan myanmar dinilai sangat menggaggu kehidupan masyarakat Ronghiya
sebagai warga dunia.
Sebelumnya, pada tahun 2008, etnis Ronghiya telah berlarian
menyebar ke beberapa wilayah di Asia. Pelarian Rohingya ke negara seperti
Bangladesh, Srilanka, dan juga Malaysia. Di sana mereka merasakan kebebasan
yang sangat terbilang jarang dirasakan di negeri mereka, Myanmar, dalam kurun
waktu 30 tahun terakhir.
Menurut mereka, selama ini mereka tidak mendapatkan kehidupan yang
sewajarnya dirasakan mereka sebagai warga negara. Kurang lebih selama 30 tahun
kehidupan para Rohingya oleh kebijakan pemerintah Myanmar.
“Kami tidak punya sekolah dan kalaupun bisa itu kami lakukan
sembunyi-sembunyi. Dan yang paling mengesalkan adalah kami tidak boleh
melanjutkan perguruan tinggi,”
“Kami minoritas, tapi sangat jarang shalat. Karena di Myanmar
dilarang, dan kampung kami juga dijaga oleh polisi dan militer agar kami tidak
bisa berpergian keluar desa. Itulah sedikit tekanan yang kami rasakan disana,
hingga kami sudah tidak tahan lagi”.
Akhirnya para Etni Ronghiya mengarungi lautan demi kebebasan, akan
tetapi mereka mendapatkan banyak kendala, mulai dari kehabisan bahan makanan
dan minuman, penyitaan mesin perahu dan bahan bakarnya oleh kepolisian
thailand. Dan akhirnya mereka terdampar di indonesia, yaitu di daerah Banda
Aceh dengan bantuan Nelayan setempat.[4]
C.
Ketidakpastian
Warga Rohingya di Indonesia.
Para pengungsi Rohingya dari Burma menghadapi ketidakpastian hukum
karena Indonesia belum merativikasi kovensi PBB mengenai pengungsi.
Sekelompok pencari suaka etnis Rohingya di Burma beribadah dengan
tenang bersama warga Indonesia lainnya di sebuah masjid di Sumatra, sebagai
tanda solidaritas yang mereka temui dari sesama Muslim setelah melarikan diri
dari kerusuhan sektarian berdarah di negaranya.
Meskipun penduduk setempat menerima mereka dengan tangan terbuka,
tidak demikian halnya dengan pemerintah Indonesia. Walaupun Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono secara publikmenyatakan dukungannya terhadap minoritas tak
berkewarganegaraan itu, warga Rohingya yang sampai ke Indonesia dapat berada
dalam ketidakpastian hukum selama bertahun-tahun.
Sebagian besar warga Rohingya awalnya tidak melihat Indonesia
sebagai tujuan akhir, namun sebagai titik transit menuju Australia. Setibanya
di Indonesia, banyak orang Rohingya yang ditahan di pusat penahanan untuk
periode waktu yang lama sementara kasusnya diproses.
Mereka yang diberi status pengungsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
dianggap beruntung namun memiliki hak yang terbatas karena Indonesia belum
menandatangani kovensi utama PBB mengenai pengungsi. Indonesia tidak dapat
menerima mereka sebagai warga tetap dan mereka tiidak dapat bekerja atau
belajar sementara menunggu status pasti.[5]
BAB
III
Pembahasan
A.
Pendesakan PBB
tehadap Hak Rohingya di Myanmar
Sekjen
PBB peringatkan Myanmar agar warga Buddha akhiri serangan terhadap minoritas
muslim di negerinya. Dan juga desak Myanmar untuk mengakui Rohingya sebagai
warganya.
Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon mengatakan :”Adalah penting
bagi pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk
menanggapi keluhan sah dari warga minoritas, termasuk tuntutan kewarganegaraan
Rohingya.” Selanjutnya dikatakan bahwa bila tidak berhasil, “ini akan
mengganggu proses reformasi dan memicu dampak negatif di daerah-daerah.”
Demikian kata Ban, Rabu (10/7) pada pertemuan dengan para wakil “Group of
Friends on Myanmar”.[6]
1.
Penolakan
Myanmar terhadap Resolusi PBB Soal Kewarganegaraan Rohingya
Myanmar menolak resolusi PBB yang mendesak negara itu memberikan
status dan hak kewarganegaraan kepada kelompok minoritas Mulim Rohingya. Negara
tersebut bahkan juga menuduh organisasi internasional itu telah mengusik
kedaulatannya.
“Kewarganegaraan tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak
berhak di bawah undang-undang. Tidak peduli siapa pu yang menekan kami. Ini
adalah hak kedaulatan kami.” kata juru bicara pemerintah Myanmar, Ye Htut,
dalam sebuah pernyataan seperti dilansir World Bulletin, Kamis (21/11).
Sebelumnya, Komisi III Majelis Umum PBB meminta Myanmar untuk
mengembalikan hak-hak kewarganegaraan komunitas Muslim Rohingya. komisi#
sosial, kemanusiaan, dan hak asasi manusia (HAM) tersebut pun telah menyetujui
rancangan resolusi yang fokus pada berbagai pelanggaran di negara itu.[7]
B.
Perlindungan Terhadap
Etnis yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan, Suaka dan Pengungsi dalam Kovensi
a.
Kovensi
mengenai Status Pengungsi
Disetujui pada tanggal 28 juli 1951, oleh konferensi para Duta
Besar Berkuasa Penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa, tentang status pengungsi dan
orang-orang tidak Berkewarganegaraan, yang diundang untuk bersidang di bawah
resolusi Majelis Umum 429/V/tanggal 14 Desember 1950.
Para Negara Peserta Tingkat Tinggi
Mempertimbangkan bahwa Piagam Perserikatan Bansa-Bangsa dan
Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, yang disetujui pada tanggal
10 Desember 1948 oleh Majelis Umum , telah menguatkan prinsip bahwa umat
manusia harus memperoleh hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasr tanpa
diskriminasi.
Mempertimbangkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa berbagai
kesempatan telah menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap pengungsi
dan berusaha menjamin pelaksanaan seluas mungkin akan hak-hak dan kebebasan
dasar ini.
Memperimbangkan bahwa adalah didambakan untuk memperbaiki kembali
dan mengkonsolidasikan persetujuan-persetujuan internasional yang sebelumnya
mengenai status pengungsi dan memberikan cakupan dan perlindungan yang di
berikan oleh instrumen-instrumen tersebut dengan sarana suatu persetujuan yang
baru.
Mempertimbangkan bahwa pemberian suaka bisa mengakibatkan beban
berat yang tidak semestinya pada negara-negara tertenti, dan bahwa penyelesaian
yang memuaskan dari suatu masalah mengenalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah
mengakui.
b.
Ketiadaan
Kewarganegaraan, Suaka dan Pengungsi
Cakupan dan sifatnya yang internasional, tanpa kerja sama
internasional. Mengharapkan bahwa semua negara yang mengakui sifat sosial dan
kemanusiaan masalah pengungsi, akan melakukan segala tindakan di dalam
kekuasaan mereka, untuk mencegah agar masalah ini tidak menyulut ketegangsn
antara negara-negara.
Mencatat bahwa Komisi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk pengungsi dibebani tugas mengawasi kovensi-kovensi internasional yang
mengatur perlindungan pengungsi dan yang
mengakui bahwa koordinasi yang efektif terhadap langkah-langkah yang diambil
untuk menangani masalah ini akan tergantung pada kerja sama para negara dengan
Komisi Tingkat Tinggi
C.
Peranan UNHCR
dalam Urusan Pengungsi Rohingya
a.
Tugas dan
Wewenang UNHCR
United Nations High Commissioner For Refugees (UNHCR) adalah lembaga internasional yang diberi mandat untuk
memberikan perlindungan internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi
yag permanen terhadap para pengungsi dengan jalan membantu pemerintah-pemerintah,
pelaku-pelaku lainnya ataupun organisasi-organisasi kemanusiaan yang terkait
untuk memberikan fasilitas pemulangan (repatriation) bagi para pengungsi
Sampai dengan tahun 1950, kewenagan utama UNHCR tidak pernah
berubah, namun demikian, kewenangan ini telah mengalami perubahan secara
signifikan selama dekade terakhir, yaitu :
1.
Peningkatan
skala operasi UNHCR
2.
Semakin luasnya
ruang lingkup aktifitas UNHCR
3.
Peningkatan
jumlah pelaku-pelaku internasional yang memberikan bantuan bagi perindungan dan
bantuan bagi pengungsi dan orang-orang terlantar.
4.
Di
daerah-daerah yang tidak stabil dan di daerah-daerah yang situasinya mudah
berubah
dalam upaya mendapatkan pemecahan masalah yang permanen menjadi
tujuan pokok perlindungan internasional. Dalam solusi permanen, paling tidak,
terdapat tiga pemecahan yang diberikan yaitu :
1.
dikembalikan ke
negara asal
2.
dimukimkan di
negara pemberi suaka pertama
3.
dimukimkan
dinegara ketiga[8]
b.
Peranan yang
dilakukan UNHCR dalam mengangani pengungsi Rohingya
Dalam menangani pengungsi Rohingya, sebagai Organisasi
Internasional, UNHCR dapat menjalankan perannya sebagai inisiator, rasilitator,
dan determinan. Tujuan utama UNHCR adalah untuk melindungi hak-hak dan
kesejahteraan pengungsi dan UNHCR sangat diharapkan salah satu perannya seperti
yang tertera pada pasal 1 Statuta UNHCR, adalah mencari solusi permanen untuk
pengungsi
1.
Sebagai
Inisiator
Berdasarkan tujuan utama UNHCR adalah memberikan keamanan dan hak
dari para pengungsi. Menjamin bahwa setiap orang behak mencari suaka dan
mendapat tempat yang aman di negara lain, dengan pilihan kembali secara
sukarela ke negaranya. Lokal integrasi atau penempatan ke negara ketiga,
Bantuan UNHCR untuk menangani pengungsi
Rohingya yang masuk ke negaranya. Pada tahun 2009, ada sekitar 391 pengungsi
Rohingya mengungsi ke indonesia. Dalam hal ini, UNHCR akan terus memantau dan
memastikan sifat repartriasi secara sukarela dan memberikan bantuan. UNHCR akan
mendorong pembentukan mekanisme untuk menentukan status pengungsi di Indonesia
untuk memastikan bahwa mereka yang merasa terancam akan mendapat perlindungan
di Indonesia.
2.
Sebagai
Fasilitator
Untuk dapat memberikan penanganan pada masyarakat etnis Rohingya
yang menjadi korban terhadap pelanggaran yang terjadi, pikak UNHCR telah
melakukan usaha dengan memfasilitasi Indonesia sebagai negara transit untuk
dapat menyediakan akses bantuan kemanusiaan dan dukungan kepada etnis Rohingya,
termasuk pada masyarakatnya yang menjadi pengungsi. Hal tersebut diharapkan
dapat membantu pemulihan pada kondisi etnisRohingya yang semakin memprihatinkan
karena dampak kekerasan yang dialami atas kekerasan yang mereka dapatkan di
Myanmar
Para pengungsi Rohingya
ditampung ditempat pengungsian dalam pengawasan
UNHCR. dimana UNHCR juga memberikan fasilitas serta bantuan bagi para
pengungsi Ronghiya tersebut.
3.
Sebagai Determinan
Sebelum suatu pengungsi diberi status pengungsi, maka UNHCR
terlebih dahulu akan melakukan Verifikasi terhadap para pengungsi. Proses
Verifikasi ini bersifat umum dalam pelaksanaannya di setiap negara yang akan
diverifikasi oleh UNHCR. Pengungsi Rohigya inipun melewati tahap verifikasi
sebelim ia mendapatkan status pengungsi oleh UNHCR . Dalam kasus etnis Rohingya
ini, UNHCR tidak dapat begitu saja menjalankan fungsinya untuk menangani para
pengungsi. Sebelumnya tim dari UNHCR akan bekerjasama dengan pemerintah negara
setempat. Setelah diverifikasi UNHCR maka akan menentukan apakah mereka
berstatus pengungsi atau bukan berdasarkan Kovensi Status Pengungsi 1951.[9]
Pada kasus pengungsi
Ronghiya ini, UNHCR memiliki fungsi untuk melakukan menyelesaikan jangka
panjang melalui upaya untuk mencarikan penyelesaian yang permanen (durable
solution) terhadap pengungsi. Solusi tersebut terbagi dalam 3 pilihan,
yaitu :
1.
Repatriation
Repatriation merupakan
upaya yang diambil UNHCR untuk mengembalikan pengungsi kenegara asalnya. Repatriation
terbagi menjadi 2 yaitu : pengembalian pengungsi ke negara asal atas
keputusan UNHCR (Repatriation by UNHCR) dan pengembalian pengugsi ke
negara asal atas permintaan pengungsi itu sendiri (Voluntary Repatriation)
2.
Local
Integration
Local Integration
merupakan upaya untuk mengintegrasikan pengungsi menjadi warga negara yang
menjadi tujuan pengungsi. Biasanya pengungsi yang diberikan solusi ini adalah
pengungsi yang telah lama tinggal di negara tersebut. atau telah menikah dengan
warga negara tersebut. Para pengungsi yang melakukan integrasi lokal biasanya
mempunyai hak yang semakin luas. Sehingga sama dengan yang dinikmati oleh warga
negara dari negara suaka. Kemudian pengungsi diijinkan tinggal secara permanen
dan kemungkinan naturalisasi
3.
Resettiement
Resettiement merupakan
solusi yang diberikan kepada pengungsi dengan melibatkan negara ketga. Terdapat
11 negara yang merupakan negara tujuan Resettiement yaitu :Austarlia,
Kanada, Denmark, Finlandia, Jerman, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Swedia,
Perancis, dan Anerika Serikat.[10]
Bantuan-bantuan teknis yang disalurkan sangat beragam dan meliputi
berbagai kebutuhan dasar hidup pengungsi. Pengeluaran finansial, bantuan
pangan, dan persediaan air bersih adalah beberapa contoh serangkaian bantuan
teknis yang diberikan.[11]
BAB IV
Penutup
A.
Kesimpulan
1.
Pengungsi
merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat manusia sebagai
akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan mereka.
2.
Tujuan utama
UNHCR adalah untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan pengungsi dan UNHCR
sangat diharapkan salah satu perannya seperti yang tertera pada pasal 1 Statuta
UNHCR, adalah mencari solusi permanen untuk pengungsi.
Daftar Pustaka
Achmad Romsan,
dkk, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Bandung : Sanic
Offset.
Aris Pramono, Peran
UNHCR dalam Menabgani Pengungsi Myanmar Etnis Rohingya di Bangladesh (Periode
1978-2002), Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Enni
Soeprapto,2000, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pegungsi Internasional,
Surabaya.
ejournal
Ilmu Hubungan Internasional, Volume1, Nomor 2, 2013 : 217-230
http://demokrasiindonesia.wordpress.com/2012/07/29/kisah-tragedi-pembagntaian-etnis-muslim-rohingya-dari-dulu-hingga--kini/
http://m.okezone.com/read/2012/08/01/413/671606/kisah-pelarian-muslm-rohingya-hindari-pembantaian
http://m.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/11/22/mwnbkp-myanmar-tolakresolusi-pbb-soal-kewarganegaraan-rohingya
http://m.voaindonesia.com/a/16955.html
http://www.dw.de/sekjen-pbb-desak-myanmar-akui-hak-rohingya/a-16944669
[1] Achmad Romsan,
dkk, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, (Bandung : Sanic Offset,
2003), hal.3
[2] Enni
Soeprapto,, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pegungsi Internasional,
(Surabaya, 2000), hal..28.
[3] http://demokrasiindonesia.wordpress.com/2012/07/29/kisah-tragedi-pembagntaian-etnis-muslim-rohingya-dari-dulu-hingga--kini/
[4] http://m.okezone.com/read/2012/08/01/413/671606/kisah-pelarian-muslm-rohingya-hindari-pembantaian
[5] http://m.voaindonesia.com/a/16955.html
[6] http://www.dw.de/sekjen-pbb-desak-myanmar-akui-hak-rohingya/a-16944669
[7] http://m.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/11/22/mwnbkp-myanmar-tolakresolusi-pbb-soal-kewarganegaraan-rohingya
[8] Achmad Romsan,
dkk, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, (Bandung : Sanic Offset,
2003), hal.164-167
[9] Peran United
Nation Highof Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi
Rohingya di Aceh Tahun 2009-2010
[10] Aris Pramono, Peran
UNHCR dalam Menabgani Pengungsi Myanmar Etnis Rohingya di Bangladesh (Periode
1978-2002), Jakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
[11] ejournal Ilmu
Hubungan Internasional, Volume1, Nomor 2, 2013 : 217-230

No comments:
Post a Comment